Sampai dimanakah batas antara Bumi dan Luar Angkasa?
Ilmuwan-astronom mencoba menggambarkannya dalam ilustrasi ini…
Bumi sebagai salah satu planet dalam tata surya yang kita huni. Dan sebagai bagian dari rahasia alam semesta, yang masih terus diteliti oleh para ilmuwan. Nah, ada sebuah pertanyaan menarik muncul tentang sampai dimanakah batas antara Bumi dan luar angkasa..?
Dilansir dari Live Science, Minggu (1/5/2022) seorang fisikawan luar angkasa di Arizona State University, Katrina Bossert, menyampaikan bahwa semakin dekat Anda ke tepi atmosfer Bumi maka semakin sedikit oksigen yang tersedia. Umumnya para pendaki di Gunung Everest, Nepal, membawa tabung oksigen agar membantu mereka tetap dapat bernapas dengan baik dan bebas di ketinggian. Sebab, oksigen pada ketinggian tersebut lebih sedikit/tipis jumlahnya dibandingkan dengan di tempat yang jauh lebih rendah. Kondisi ini akhirnya memicu pertanyaan tentang sampai mana batasan antara Bumi dengan luar angkasa. Lantas, di mana batas atmosfer Bumi dan luar angkasa?
Menjawab hal tersebut, Bossert menyampaikan bahwa atmosfer Bumi terdiri dari beberapa lapisan.
Menjelaskan tentang batas antara atmosfer Bumi dan luar angkasa, Bossert mengatakan bahwa di setiap lapisan Bumi memiliki karakter perubahan suhu, komposisi kimia, kepadatan, serta pergerakan gas di dalamnya.
“Ketika Anda semakin jauh dari Bumi, atmosfer menjadi kurang padat. Komposisinya juga berubah, dan atom serta molekul yang lebih ringan mulai mendominasi, sementara molekul berat tetap lebih dekat ke permukaan Bumi,” ujarnya.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), mengungkapkan bahwa seluruh lapisan atmosfer turut berperan dalam memastikan Bumi dapat menampung semua jenis kehidupan. Lapisan tersebut juga melakukan segalanya mulai dari memblokir radiasi kosmik penyebab kanker, hingga menciptakan tekanan yang diperlukan untuk menghasilkan air. Seiring dengan pergerakan manusia mendekati atmosfer, tekanan udara juga akan semakin menurun dengan signifikan. Area tersebut ialah batas yang telah ditentukan para ilmuwan, sebagai tanda berakhirnya atmosfer Bumi sekaligus awal dari wilayah luar angkasa. Titik yang menjadi batas antara Bumi dan luar angkasa ini dikenal sebagai garis karman, yang diambil dari nama fisikawan Amerika-Hungaria bernama Theodore von Kármán pada 1957.
Batas antara atmosfer Bumi dan luar angkasa dapat dirasakan, misal saat berada di dalam pesawat. Kendati pesawat penumpang (komersial) memiliki kabin bertekanan, perubahan ketinggian yang cepat dapat memengaruhi saluran eustachius, yakni penghubung tipis bagi telinga dengan hidung dan tenggorokan.
“Inilah sebabnya mengapa telinga Anda mungkin (dapat) pecah saat lepas landas di pesawat terbang,” jelas asisten profesor di University of California, Davis, Matthew Igel.
Berdasarkan laporan EarthSky, dia adalah orang pertama yang mencoba mendefinisikan batas antara Bumi dan luar angkasa.
“Garis karman adalah perkiraan wilayah yang menunjukkan ketinggian di mana satelit akan dapat mengorbit Bumi tanpa terbakar atau jatuh dari orbit sebelum mengelilingi Bumi setidaknya sekali,” ucap Bossert. Garis karman biasanya digambarkan berda pada jarak 100 km di atas Bumi. Wilayah itu, lanjut dia, menandai batas Bumi dengan ruang angkasa serta menunjukkan batas-batas bagi pesawat terbang. Tak hanya itu saja, garis karman juga membantu ilmuwan untuk membuat pesawat ruang angkasa maupun satelit dapat mengorbit Bumi dengan baik. Ilmuwan berkata ada kemungkinan suatu objek dapat mengorbit Bumi, pada ketinggian di bawah garis Kármán. Namun, hal itu membutuhkan kecepatan orbit yang sangat tinggi, dan akan sulit dipertahankan karena gesekan yang terjadi.
“Garis karman adalah ambang batas imajiner antara perjalanan udara dan perjalanan luar angkasa,” jelas Bossert. Pada dasarnya, garis yang membatasi antara Bumi dengan luar angkasa tidak dapat terlihat seperti tanda yang biasa Anda lihat saat berada di darat.
“Garis itu bukan (berbentuk) fisik, jadi orang tidak akan menyadarinya, juga tidak memiliki ketebalan apa pun. Pada prinsipnya, penerbangan masih memungkinkan sampai ke jalur karman,” tutur Igel.
Sebaliknya, hal ini tidak berlaku pada hewan yang berada di ketinggian 20 km di atas permukaan Bumi, di mana tekanannya sangat rendah bahkan bisa membuat cairan di paru-paru mendidih.